HARAP DIPERHATIKAN BAHWA
CATATAN INI MENGANDUNG SPOILERS!!
BAGI YANG BELUM NONTON
SEBAIKNYA MENGHINDARI CATATAN INI!!
JIKA TETAP MEMBACANYA,
RESIKO DITANGGUNG SENDIRI!!!
Satu lagi film tentang
artificial intelligence telah hadir
untuk menghibur kita. Ya! Transcendence.
Dan, yup! Sekali lagi,
meski tema-nya mengenai Artificial Intelligence, tetap saja yang jadi dasar
ceritanya adalah, yang lain dan tak bukan, skenario purba dan melegenda, klise
dan klasik banget.
“CINTA”
Sayang sekali saya belum
sempat menonton “Her”, salah satu film romantis mengenai seorang pria yang
jatuh hati pada Artificial Intelligence, sehingga saya tak bisa
membandingkannya dengan transcendence.
Saya akan buat ulasan mengenai Her nanti. Yah,
tampaknya minggu ini genre film yang saya lagi gandrungi adalah mengenai sains
(tiap hari bukannya begitu? Hehehe).
Kembali pada Transcendence. Kisah film ini ingin
mengungkapkan bahwa jika teknologi dan
sains bisa sangat bermanfaat bagi kita semua jika dipergunaan selayaknya,
bukannya menjadi horror akan sesuatu yang menakutkan di masa depan, seperti
film “I, Robot”. Atau seperti di Transformer, walau ada Optimus Prime.
Hal yang kental dan kuat dalam kisah ini adalah
mengenai “kepercayaan”. Bagaimana seseorang bisa percaya pada hal yang tak bisa
ia sentuh. Kepercayaan sejenis itu sangat sulit. Yang pada akhirnya akan
berujung pada kecurigaan dan rasa takut.
Trik dalam film ini sangat bagus. Peran karakter
Will, baik yang versi manusia dan versi AI (Artificial Inteligence), sangat
menarik. Pertama kali melihat Will versi manusianya, sebenarnya tak jauh beda
dengan Will versi AI. Saya sudah menduga bahwa Will versi AI adalah Will yang
asli. (Meski saat ini orang-orang sulit untuk mencerna bagaimana kesadaran
manusia bisa diekstrak dan di upload ke komputer.) Sang penulis sepertinya
mencoba menggiring penonton untuk menaruh curiga pada Will versi AI, dan
membuat penonton kesal akan tindakan Evelyn yang akan dianggap buta oleh cinta.
Yup! Penulisnya berhasil mengenaiku 25%. Selebihnya, saya masih memegang beberapa
skenario terhadap film itu sepanjang menontonnya tadi. Jadinya, saya tak heran
ketika dugaan saya ada yang tepat.
Kecewa? Tidak juga, saya menikmati film ini. Alurnya sangat bagus, apa lagi Johnny
Depp yang memainkan peran Will. Saya sangat suka karakter Will. Hahaha. Karakter
Kapten Jack-nya terlihat sekilas pada saat ia bercanda pada Joseph. XD
Saya penganut bahwa tak ada yang tak mungkin dengan
teknologi dan sains. Bahkan saat ini black hole sudah bisa diciptakan di lab.
Walau begitu, moral yang dianut manusia adalah batas akan teknologi dan sains
yang canggih. Moral adalah pembatas dan aturan bagi manusia, sehingga tindakan
yang diambilnya tidak berlagak sebagai Tuhan. Seperti dalam film ini saat Will
mengadakan sesi tanya jawab:
Man in white shirt: So you want to create a
god? Your own god?
Will : That's a very good question. Um...
Isn't that what man has always done?
Entah Will sedang bercanda atau tidak. Tapi, dalam
kata-katanya tersirat makna bahwa ia menginginkan sesuatu yang besar dan hebat.
Menurutku, Will yang tampak kaku, serius, penyayang, dan genius itu, memiliki
selera humor yang mematikan. Yah, nggak mematikan gimana, sih. Tapi sense dark
humor-nya bikin bakalan membuat siapapun terdiam. (Tuhan itu, esensinya nggak
diciptakan. Kalo diciptakan, bukan Tuhan namanya. Ingat, ya! Tapi, makna Tuhan
bagi setiap individu itu berbeda-beda, jadi, yah, maklumi saja. Tak semua orang
itu sama. Isi kepalanya beda semua! XD)
Hal itu terjadi juga setelah Will menjadi AI, saat
Dr. Tagger meminta pembuktian bahwa dia adalah Will yang dikenalnya. Dengan
santai dan lucunya, Will menjawab:
“That's a difficult question, Dr. Tagger.
Can
you prove that you are?”
Saya
rasa disinilah humor Will menjadi mematikan. Kata-kata itu adalah milik PINN.
AI buatan Will yang ada di lab lama-nya. Suatu kesalahan fatal yang dilakukan
oleh Will. Kepercayaan yang berusaha dibangun oleh Will melalui candaan
tampaknya menjadi pukulan keras bagi Joseph yang tahu betul akan PINN, disini
tampaknya Evelyn juga mulai ragu meski ia
berusaha menutupinya dengan tawa. Ketika Joseph memberinya kertas secara
diam-diam, pikiran Evelyn akhirnya mulai goyah. Jika saja Will tak melontarkan
humor aneh dan mengerikannya itu, kisahnya tak akan menjadi seperti itu. Akan
tetapi, cerita akan lain jadinya. Hahaha.
Dari
sini kita bisa melihat bahwa, sang penulis cerita ingin mengungkap bahwa
kemanusiaan itu akan tetap ada meski telah berubah bentuk fisiknya. Hal ini
akan sulit diterima, mengingat manusia takut pada hal-hal yang tak diketahui.
Manusia memang pada dasarnya seperti itu. Akan berusaha melenyapkan segala
sesuatu yang tak diketahuinya, karna rasa takut yang terpatrit dalam hati
mereka. Itu normal.
“People
fear what they don't understand.
They
always have.”
Kalimat
itu selalu muncul di beberapa film dan buku, meski tak serupa, namun memiliki
makna yang sama. Dan itu memang benar.
Keinginan
Evelyn untuk mengekstrak kesadaran Will ke dalam komputer merupakan pertanda
cintanya sangat dalam dan tulus, hingga ia tak ingin berpisah. Setidaknya,
walau raga terpisah, kesadaran Will akan tetap terjalin dengannya—ini
sebenarnya cukup egois, akan tetapi karena pihak kedua setuju, saya tak ambil
pusing, deh.
Meski
begitu, cinta itu diuji dengan kepercayaan dalam bentuk Will sebagai AI. Ini
tak beda jauh dengan kehidupan nyata. Saat kita menyukai seseorang, yang pada
mulanya kita mengira telah mengenalnya dengan sangat baik, semua itu akan
jungkir balik dan menjadi kecurigaan dan rasa takut ketika satu hal muncul
sebagai faktor pemicu rusaknya kepercayaan. Kepercayaan itu bagaikan kartu yang
disusun menjulang tinggi menjadi tower, salah satu saja yang tak sesuai, maka
kepercayaan itu runtuh. Dan memang, kepercayaan itu rapuh adanya. Dihempas
angin, hancur luluh lantak.
Film ini
juga ingin menyampaikan bahwa cinta tak harus dalam bentuk fisik untuk menyukai
seseorang. Cinta ada dimana saja dan dalam bentuk apa saja. Hal yang penting
dalam cinta adalah bagaimana dua hati bisa menyatu. Sesimpel itu. Jika hanya
karna fisik, itu cinta fana, kosong, dan palsu. Cinta semacam itu tak akan
bertahan lama.
Saya
bisa menebak dari awal cerita kenapa Will memutuskan untuk mengupload
kesadarannya ke dalam komputer secara diam-diam, secara sepihak. Prinsip yang
dipegang oleh Will mungkin adalah: Apapun yang bisa diupload, pasti bisa di
download. Dalam artian, copy, paste, instal, etc. yang membuatnya berpindah
dari satu tempat ke tempat lain. Dan memang kisah itu berjalan demikian adanya.
Saya juga bisa menebak kalau Will akan mengupload kesadarannya pada manusia
lain, tapi entah bagaimana. Namun, begitu Will menjadi begitu agresif setelah
menjadi AI-- beberapa orang mulai tak percaya padanya, termasuk rekannya
sendiri, Max. Keinginan menggebunya yang ingin online ke seluruh penjuru dunia,
membuat Max menaruh curiga, apalagi saat Will menyebut Wall Street. Ya, Will
versi manusia tak akan berbuat begitu, namun saya paham, karena ia berusaha
mewujudkan sesuatu. Saya tidak terkejut ketika pada akhirnya Will mengembangkan
berbagai macam sains dan teknologi di lab barunya, yang tujuannya adalah mewujudkan
impian wanita yang dicintainya sekaligus bisa kembali memiliki bentuk fisik,
bukan hanya sekedar gambar dan suara tanpa ada secara fisik di hadapan Evelyn.
Yup!
Saya sudah bisa menduganya akan seperti itu pada akhirnya. Hanya saja, saya
berharap kisahnya akan berakhir bagus, sayangnya lagi-lagi cinta semacam ini
berakhir tragis nan indah. Harusnya saya sudah sadar pas Max melangkahkan
kakinya ke kebun rumah Will dan Evelyn di pembukaan film. #facepalm
Kalau berbicara soal teknologi
dan sains dalam film ini, saya bisa mengatakan, “bisa saja”. Teknologi nano seperti yang ada di film ini, bukan
hal yang mustahil untuk dikembangkan.
Will dan Evelyn yang meninggal
dalam film ini, saya rasa mereka tidak benar-benar meninggal—kesadaran mereka
tetap ada. Itu terbukti dari tetesan air
yang jatuh pada bunga matahari yang layu. Mungkin, sebagian kesadaran
Will dan Evelyn ada dalam air itu, meski hanya sedikit. Dan saya secara teori
bisa mendeduksikan bahwa, jika Max sadar bahwa ada yang aneh dengan kebun itu,
ia bisa saja kembali mengambil air tersebut dan menelitinya di lab. Ini
teknologi nano, jadi bukan tidak mungkin ada secuil kesadaran yang tersimpan
dalam air itu.
Mungkin itu adalah ending yang terbaik, Will dan Evelyn sangat menyukai kebun mereka itu. Mekarnya bunga matahari adalah pertanda baik bahwa disetiap masa-masa gelap, akan ada cahaya yang menyinari meski sedikit. (Saya ngomong apa disini??? Hahahaha)
Garis besar kisah ini adalah bagaimana sikap seseorang yang tetap setia dan percaya ketika cinta sejatinya telah berubah bentuk. Evelyn diuji dengan ujian yang berat dan menyakitkan. Salah perkiraan dan gegabah, maka ia akan mengkhianati cinta sejatinya yang telah berbuat segala hal untuknya, untuk impiannya.
Untung saja Will adalah karakter
yang penyayang. Hingga ia masih memaafkan Evelyn.
Sanctuary mereka, adalah
pertanda cinta mereka yang tulus. Tempat yang penuh kenangan bagi mereka
berdua. Kisah cinta di film ini sungguh mengharukan sekaligus membuat bulu
kuduk merinding. Bagaimana tidak? Kau diuji dengan cinta yang ditransfer ke
benda tak bernyawa, tak makan dan minum, tak bisa disentuh, dan hanya bisa
menjerit. Jika kalian berada pada salah satu posisi antara Will dan Evelyn,
bagaimana perasaan kalian???
Menurutku, Will yang asli secara
fisik memang telah tiada, abunya sudah ditebar oleh Evelyn di sungai yang
indah. Akan tetapi, jika kesadaran bisa dicopy dan ditransfer, bukankah itu
tetap asli, meski tanpa fisik sekalipun?
Sama ketika kita telah mati
nantinya. Kesadaran adalah hal yang patut diperhitungkan. Dunia ini terdiri
dari atom-atom dan lebih kecilnya lagi adalah QUARK. Segala macam signal ada
pada otak, begitu pula pada alam semesta ini, jika kita bisa menemukan
frekuensi yang tepat, kenapa tidak? Reaksi kimia dan hukum fisika berlaku di alam
semesta, begitu pula pada diri manusia. Jadi, tak mustahil Will versi AI adalah
Will yang asli, bukan PINN yang sedang menyamar sebagai Will dengan modus
tersembunyi.
Ilmu Kimia, biologi, dan Fisika
telah lebih dulu dibahas dalam kitab suci beberapa agama di dunia, salah
satunya adalah Al Qur’an. Yang perlu manusia ketahui adalah bagaimana mereka
memanfaatkan ilmu itu tetap berada di jalan yang lurus dan tidak di salah
gunakan.
Ketika manusia dihadapi oleh
ilmu dan pengetahuan diluar akalnya,
mereka akan mulai takut dan panik. Berusaha sekuat tenaga melenyapkannya dengan
segala cara. Seperti yang diungkapkan
dalam Transcendence:
“People
fear what they don't understand.
They
always have.”
Teknologi
dan sains, sah-sah saja bagi kita semua. Asal jangan meng-Tuhan-kan mereka.
Karena pada dasarnya, segala sesuatu itu milik Yang Maha Kuasa. Yang
mengizinkan segala sesuatu tercipta dengan berkata “KUN
FAYAKUN”.
Maka dari itu, kita sebagai umat
manusia wajib bersyukur dengan segala nikmat dan karunia yang Allah S.W.T telah
berikan pada kita. Jangan kufur dan takabur sebagai manusia yang fana.
Nah,
Loh? Kenapa saya jadi khotbah disini? XD
Hahaha
Dari keseluruhan cerita,
penyajian, dan efek, saya beri rating 9 dari 10. Saya nggak pelit-pelit beri
rating, kalo menurutku bagus, kenapa tidak??? Lagian, yang main juga adalah Johnny
Depp. :D
Recommended banget buat di
nonton!
http://www.imdb.com/title/tt2209764/
http://www.imdb.com/title/tt2209764/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave Your comment!