Cari Blog Ini

Jumat, 16 Januari 2015

ULASAN FILM/MOVIE TRANSCENDENCE







HARAP DIPERHATIKAN BAHWA CATATAN INI MENGANDUNG SPOILERS!!
BAGI YANG BELUM NONTON SEBAIKNYA MENGHINDARI CATATAN INI!!
JIKA TETAP MEMBACANYA, RESIKO DITANGGUNG SENDIRI!!!

Satu lagi film tentang artificial  intelligence telah hadir untuk menghibur kita. Ya! Transcendence.
Dan, yup! Sekali lagi, meski tema-nya mengenai Artificial Intelligence, tetap saja yang jadi dasar ceritanya adalah, yang lain dan tak bukan, skenario purba dan melegenda, klise dan klasik banget.
                “CINTA”
Sayang sekali saya belum sempat menonton “Her”, salah satu film romantis mengenai seorang pria yang jatuh hati pada Artificial Intelligence, sehingga saya tak bisa membandingkannya dengan transcendence.
                Saya akan buat ulasan mengenai Her nanti. Yah, tampaknya minggu ini genre film yang saya lagi gandrungi adalah mengenai sains (tiap hari bukannya begitu? Hehehe).
                Kembali pada Transcendence. Kisah film ini ingin mengungkapkan  bahwa jika teknologi dan sains bisa sangat bermanfaat bagi kita semua jika dipergunaan selayaknya, bukannya menjadi horror akan sesuatu yang menakutkan di masa depan, seperti film “I, Robot”. Atau seperti di Transformer, walau ada Optimus Prime.
                Hal yang kental dan kuat dalam kisah ini adalah mengenai “kepercayaan”. Bagaimana seseorang bisa percaya pada hal yang tak bisa ia sentuh. Kepercayaan sejenis itu sangat sulit. Yang pada akhirnya akan berujung pada kecurigaan dan rasa takut.
                Trik dalam film ini sangat bagus. Peran karakter Will, baik yang versi manusia dan versi AI (Artificial Inteligence), sangat menarik. Pertama kali melihat Will versi manusianya, sebenarnya tak jauh beda dengan Will versi AI. Saya sudah menduga bahwa Will versi AI adalah Will yang asli. (Meski saat ini orang-orang sulit untuk mencerna bagaimana kesadaran manusia bisa diekstrak dan di upload ke komputer.) Sang penulis sepertinya mencoba menggiring penonton untuk menaruh curiga pada Will versi AI, dan membuat penonton kesal akan tindakan Evelyn yang akan dianggap buta oleh cinta. Yup! Penulisnya berhasil mengenaiku 25%. Selebihnya, saya masih memegang beberapa skenario terhadap film itu sepanjang menontonnya tadi. Jadinya, saya tak heran ketika dugaan saya  ada yang tepat. Kecewa? Tidak juga, saya menikmati film ini. Alurnya sangat bagus, apa lagi Johnny Depp yang memainkan peran Will. Saya sangat suka karakter Will. Hahaha. Karakter Kapten Jack-nya terlihat sekilas pada saat ia bercanda pada Joseph. XD
                Saya penganut bahwa tak ada yang tak mungkin dengan teknologi dan sains. Bahkan saat ini black hole sudah bisa diciptakan di lab. Walau begitu, moral yang dianut manusia adalah batas akan teknologi dan sains yang canggih. Moral adalah pembatas dan aturan bagi manusia, sehingga tindakan yang diambilnya tidak berlagak sebagai Tuhan. Seperti dalam film ini saat Will mengadakan sesi tanya jawab:
                Man in white shirt: So you want to create a god? Your own god?
                Will                           : That's a very good question. Um...
               Isn't that what man has always done?
                Entah Will sedang bercanda atau tidak. Tapi, dalam kata-katanya tersirat makna bahwa ia menginginkan sesuatu yang besar dan hebat. Menurutku, Will yang tampak kaku, serius, penyayang, dan genius itu, memiliki selera humor yang mematikan. Yah, nggak mematikan gimana, sih. Tapi sense dark humor-nya bikin bakalan membuat siapapun terdiam. (Tuhan itu, esensinya nggak diciptakan. Kalo diciptakan, bukan Tuhan namanya. Ingat, ya! Tapi, makna Tuhan bagi setiap individu itu berbeda-beda, jadi, yah, maklumi saja. Tak semua orang itu sama. Isi kepalanya beda semua! XD)
                Hal itu terjadi juga setelah Will menjadi AI, saat Dr. Tagger meminta pembuktian bahwa dia adalah Will yang dikenalnya. Dengan santai dan lucunya, Will menjawab:
                “That's a difficult question, Dr. Tagger.
                Can you prove that you are?”
Saya rasa disinilah humor Will menjadi mematikan. Kata-kata itu adalah milik PINN. AI buatan Will yang ada di lab lama-nya. Suatu kesalahan fatal yang dilakukan oleh Will. Kepercayaan yang berusaha dibangun oleh Will melalui candaan tampaknya menjadi pukulan keras bagi Joseph yang tahu betul akan PINN, disini tampaknya Evelyn juga mulai ragu meski ia  berusaha menutupinya dengan tawa. Ketika Joseph memberinya kertas secara diam-diam, pikiran Evelyn akhirnya mulai goyah. Jika saja Will tak melontarkan humor aneh dan mengerikannya itu, kisahnya tak akan menjadi seperti itu. Akan tetapi, cerita akan lain jadinya. Hahaha.
Dari sini kita bisa melihat bahwa, sang penulis cerita ingin mengungkap bahwa kemanusiaan itu akan tetap ada meski telah berubah bentuk fisiknya. Hal ini akan sulit diterima, mengingat manusia takut pada hal-hal yang tak diketahui. Manusia memang pada dasarnya seperti itu. Akan berusaha melenyapkan segala sesuatu yang tak diketahuinya, karna rasa takut yang terpatrit dalam hati mereka. Itu normal.
              “People fear what they don't understand.
              They always have.”
Kalimat itu selalu muncul di beberapa film dan buku, meski tak serupa, namun memiliki makna yang sama. Dan itu memang benar.
Keinginan Evelyn untuk mengekstrak kesadaran Will ke dalam komputer merupakan pertanda cintanya sangat dalam dan tulus, hingga ia tak ingin berpisah. Setidaknya, walau raga terpisah, kesadaran Will akan tetap terjalin dengannya—ini sebenarnya cukup egois, akan tetapi karena pihak kedua setuju, saya tak ambil pusing, deh. 
Meski begitu, cinta itu diuji dengan kepercayaan dalam bentuk Will sebagai AI. Ini tak beda jauh dengan kehidupan nyata. Saat kita menyukai seseorang, yang pada mulanya kita mengira telah mengenalnya dengan sangat baik, semua itu akan jungkir balik dan menjadi kecurigaan dan rasa takut ketika satu hal muncul sebagai faktor pemicu rusaknya kepercayaan. Kepercayaan itu bagaikan kartu yang disusun menjulang tinggi menjadi tower, salah satu saja yang tak sesuai, maka kepercayaan itu runtuh. Dan memang, kepercayaan itu rapuh adanya. Dihempas angin, hancur luluh lantak.
Film ini juga ingin menyampaikan bahwa cinta tak harus dalam bentuk fisik untuk menyukai seseorang. Cinta ada dimana saja dan dalam bentuk apa saja. Hal yang penting dalam cinta adalah bagaimana dua hati bisa menyatu. Sesimpel itu. Jika hanya karna fisik, itu cinta fana, kosong, dan palsu. Cinta semacam itu tak akan bertahan lama.
Saya bisa menebak dari awal cerita kenapa Will memutuskan untuk mengupload kesadarannya ke dalam komputer secara diam-diam, secara sepihak. Prinsip yang dipegang oleh Will mungkin adalah: Apapun yang bisa diupload, pasti bisa di download. Dalam artian, copy, paste, instal, etc. yang membuatnya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dan memang kisah itu berjalan demikian adanya. Saya juga bisa menebak kalau Will akan mengupload kesadarannya pada manusia lain, tapi entah bagaimana. Namun, begitu Will menjadi begitu agresif setelah menjadi AI-- beberapa orang mulai tak percaya padanya, termasuk rekannya sendiri, Max. Keinginan menggebunya yang ingin online ke seluruh penjuru dunia, membuat Max menaruh curiga, apalagi saat Will menyebut Wall Street. Ya, Will versi manusia tak akan berbuat begitu, namun saya paham, karena ia berusaha mewujudkan sesuatu. Saya tidak terkejut ketika pada akhirnya Will mengembangkan berbagai macam sains dan teknologi di lab barunya, yang tujuannya adalah mewujudkan impian wanita yang dicintainya sekaligus bisa kembali memiliki bentuk fisik, bukan hanya sekedar gambar dan suara tanpa ada secara fisik di hadapan Evelyn. 
Yup! Saya sudah bisa menduganya akan seperti itu pada akhirnya. Hanya saja, saya berharap kisahnya akan berakhir bagus, sayangnya lagi-lagi cinta semacam ini berakhir tragis nan indah. Harusnya saya sudah sadar pas Max melangkahkan kakinya ke kebun rumah Will dan Evelyn di pembukaan film. #facepalm

Kalau berbicara soal teknologi dan sains dalam film ini, saya bisa mengatakan, “bisa saja”.  Teknologi nano seperti yang ada di film ini, bukan hal yang mustahil untuk dikembangkan. 
Will dan Evelyn yang meninggal dalam film ini, saya rasa mereka tidak benar-benar meninggal—kesadaran mereka tetap ada. Itu terbukti dari tetesan air  yang jatuh pada bunga matahari yang layu. Mungkin, sebagian kesadaran Will dan Evelyn ada dalam air itu, meski hanya sedikit. Dan saya secara teori bisa mendeduksikan bahwa, jika Max sadar bahwa ada yang aneh dengan kebun itu, ia bisa saja kembali mengambil air tersebut dan menelitinya di lab. Ini teknologi nano, jadi bukan tidak mungkin ada secuil kesadaran yang tersimpan dalam air itu.

 Mungkin itu adalah ending yang terbaik, Will dan Evelyn sangat menyukai kebun mereka itu. Mekarnya bunga matahari adalah pertanda baik bahwa disetiap masa-masa gelap, akan ada cahaya yang menyinari meski sedikit. (Saya ngomong apa disini??? Hahahaha)
              
  Garis besar kisah ini adalah bagaimana sikap seseorang yang tetap setia dan percaya ketika cinta sejatinya telah berubah bentuk. Evelyn diuji dengan ujian yang berat dan menyakitkan. Salah perkiraan dan gegabah, maka ia akan mengkhianati cinta sejatinya yang telah berbuat segala hal untuknya, untuk impiannya. 
              Untung saja Will adalah karakter yang penyayang. Hingga ia masih memaafkan Evelyn.
Sanctuary mereka, adalah pertanda cinta mereka yang tulus. Tempat yang penuh kenangan bagi mereka berdua. Kisah cinta di film ini sungguh mengharukan sekaligus membuat bulu kuduk merinding. Bagaimana tidak? Kau diuji dengan cinta yang ditransfer ke benda tak bernyawa, tak makan dan minum, tak bisa disentuh, dan hanya bisa menjerit. Jika kalian berada pada salah satu posisi antara Will dan Evelyn, bagaimana perasaan kalian???
  Menurutku, Will yang asli secara fisik memang telah tiada, abunya sudah ditebar oleh Evelyn di sungai yang indah. Akan tetapi, jika kesadaran bisa dicopy dan ditransfer, bukankah itu tetap asli, meski tanpa fisik sekalipun? 
Sama ketika kita telah mati nantinya. Kesadaran adalah hal yang patut diperhitungkan. Dunia ini terdiri dari atom-atom dan lebih kecilnya lagi adalah QUARK. Segala macam signal ada pada otak, begitu pula pada alam semesta ini, jika kita bisa menemukan frekuensi yang tepat, kenapa tidak? Reaksi kimia dan hukum fisika berlaku di alam semesta, begitu pula pada diri manusia. Jadi, tak mustahil Will versi AI adalah Will yang asli, bukan PINN yang sedang menyamar sebagai Will dengan modus tersembunyi.
Ilmu Kimia, biologi, dan Fisika telah lebih dulu dibahas dalam kitab suci beberapa agama di dunia, salah satunya adalah Al Qur’an. Yang perlu manusia ketahui adalah bagaimana mereka memanfaatkan ilmu itu tetap berada di jalan yang lurus dan tidak di salah gunakan. 
 Ketika manusia dihadapi oleh ilmu  dan pengetahuan diluar akalnya, mereka akan mulai takut dan panik. Berusaha sekuat tenaga melenyapkannya dengan segala cara.  Seperti yang diungkapkan dalam Transcendence:

               “People fear what they don't understand.
                They always have.”

Teknologi dan sains, sah-sah saja bagi kita semua. Asal jangan meng-Tuhan-kan mereka. Karena pada dasarnya, segala sesuatu itu milik Yang Maha Kuasa. Yang mengizinkan segala sesuatu tercipta dengan berkata “KUN FAYAKUN”. 
Maka dari itu, kita sebagai umat manusia wajib bersyukur dengan segala nikmat dan karunia yang Allah S.W.T telah berikan pada kita. Jangan kufur dan takabur sebagai manusia  yang fana.

Nah, Loh? Kenapa saya jadi khotbah disini? XD
Hahaha

                Dari keseluruhan cerita, penyajian, dan efek, saya beri rating 9 dari 10. Saya nggak pelit-pelit beri rating, kalo menurutku bagus, kenapa tidak??? Lagian, yang main juga adalah Johnny Depp. :D
                Recommended banget buat di nonton! 

http://www.imdb.com/title/tt2209764/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave Your comment!